Selasa, 10 Mei 2011

Keterpurukan Indonesia Akibat Bangsa Berkarakter Pembantu

Bangsa Indonesia pada saat ini berada di ujung tanduk karena kehilangan jati dirinya. Suka tidak suka, bangsa ini memiliki karakter sebagai pembantu rumah tangga.  Untuk mengembalikan karakter yang hilang, Bangsa Indonesia harus memusatkan perhatiannya pada pendidikan yang tidak hanya terfokus pada knowledge (pengetahuan) tetapi pada sincerity (ketulusan). Demikian diungkapkan Ketua Umum Yayasan Jati Diri Bangsa, Brigjen TNI (Purn) Soemarno Soedarsono dalam diskusi kebangsaan di Domus - Indonesia Cultural Observatory, Jakarta yang diselenggarakan oleh Gerakan Integritas Bangsa (GIN) pimpinan Salahuddin Wahid dan dipandu oleh Putut Prabantoro, (Selasa, 10/5).


Dijelaskan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Jati Diri Bangsa, sebanyak 20 persen yang merupakan para ibu dari masyarakat menengah, pada umumnya menyerahkan pendidikan anak kepada pembantu rumah - mengingat kedua orang tua (ayah dan ibu) beraktivitas di luar rumah. Sementara sisanya yakni 80 persen adalah para ibu dari golongan masyarakat bawah yang tidak mampu menyewa pembantu atau bahkan dirinya sendiri menjadi pembantu. Dalam kondisi itu, para ibu yang bekerja sebagai pembantu, karena kondisi dan situasi rumah tangga, menelantarkan anaknya begitu saja atau anak menggelandang. 

"Kondisi ini perlu diwaspadai, karena anak Indonesia dibesarkan dengan bermentalkan dan berkualitaskan sebagai pembantu. Sebagai akibanya adalah anak-anak yang orang tuanya pembantu hidup terlantar dan menggelandang." jelas Brigjen lulusan sekolah militer di Breda, Belanda. Oleh karena itu, tambahnya, keterpurukan Indonesia lebih disebabkan karena "manusia"nya dan bukan karena tidak adanya pengetahuan. Manusia Indonesia tidak ada kaitannya dengan IQ tetapi berhubungan langsung dengan mental. 

Pengiriman TKW ke luar negeri adalah bagian dari percepatan proses keterpurukan bangsa Indonesia. Sekalipun para TKW disebut sebagai "ratu devisa" atau "pahlawan devisa" namun suka tidak suka harus diakui pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri membenarkan bangsa Indonesia berkarakter pembantu. "Bisa dibayangkan 2000 TKW yang dikirim, 10 persen dari jumlah itu kembali ke tanah air dengan perut besar dan 4 di antaranya melahirkan di jalan," ujar Soemarno Soedarsono, yang bersama dengan tokoh nasional lain mendirikan Yayasan Jati Diri Bangsa pada 2002.

Dijelaskan lebih lanjut, manusia Indonesia bermasalah dengan hati nuraninya. Pertemuan lintas agama menghasilkan statement (kebohongan - red) namun dibantah oleh pemerintah. Pemerintah kemudian menanggapi statement tersebut dengan menunjukkan serangkaian angka keberhasilan. Jika memang ada keberhasilan seperti yang ditunjukkan, mengapa pemerintah harus menanggapi komentar lintas agama. Dengan menanggapi komentar tersebut itu artinya ada sesuatu masalah. Masalahnya adalah, pemerintah mengaku telah bekerja keras, namun kesehariannya rakyat menjerit karena keadaan yang tidak membaik. "Kondisi Indonesia seperti sebuah pohon yang gundul, hidup tetapi tak menghasilkan tak berkarakter. Kondisi bangsa Indonesia diibaratkan dengan pepatah,"harta hilang - tidak ada sesuatu yang hilang. Kesehatan hilang - ada sesuatu yang hilang. Namun Karakter sebuah bangsa hilang, itu artinya seluruh yang dipunyai bangsa itu hilang tak tergantikan," ungkapnya.


PENDIDIKAN KARAKTER

Lebih dalam Soemarsono menjelaskan bahwa karakter bangsa harus dimulai dari kejujuran dan ketulusan. Jati diri bangsa adalah suatu pilihan sementara jati diri individu merupakan pemberian. Karena merupakan pilihan jatidiri harus ditanamkan sejak dini.  

Menurut pengamatan Brigjen lulusan sekolah militer di Breda, Belanda ini, ketika tahun 1945, para bapa bangsa bekerja sama dengan rakyat dan ditambah dengan karakter yang kuat untuk merdeka. Indonesia bersyukur, karena semangat yang sama-sama berkarakter itulah negara ini bisa merdeka dan lepas dari penjajahan Belanda. Seharusnya, bangsa ini mencatat tanggal 11 Mei 2010 di mana pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono menyatakan dimulainya pendidikan karakter. Ini merupakan peluang emas untuk membangun kembali karakter yang sudah hilang. Karakter bukan hanya urusan Depdiknas tetapi urusan seluruh bangsa. Karakter harus dimulai dari pendidikan sejak dini, dimana jati diri bangsa ditanam ke dalam.

Dicontohkan bahwa ketika Jepang runtuh akibat bom Nagasaki pada Agustus 1945, Kaisar Hirohito hanya menanyakan berapa guru yang masih tersisa. Artinya, bagi Jepang, karakter bangsa dimulai dari pendidikan SD dan SMP. Karakter itu bisa dilihat dunia pada saat ini ketika Jepang terlanda tsunami hebat pada bulan lalu. Dijelaskan lebih lanjut, karakter adalah pendidikan yang tiadak berkesudahan (never ending process). Sehingga adalah tidak mungkin menanamkan Pancasila sebagai karakter dengan cara instan. Pancasila harus ditanam dalam-dalam dengan bentuk perbuatan.  "Oleh karenanya, jika karakter bangsa ini adalah pembantu, yang menjadi pertanyaan adalah di mana ketahanan keluarga yang merupakan tiang dari kekuatan negara dan bangsa? Soekarno tidak menginginkan Bangsanya pada waktu itu menjadi bangsa kuli - oleh karena itu bangsa Indonesia harus merdeka dari penjajahan," ungkap penulis buku MENGANTAR BANGSA DARI GELAP MENUJU TERANG.

Pernyataan ini diamini oleh Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang mengatakan bahwa pesantren Tebu Ireng Jombang menerapkan dua nilai luhur yang tidak boleh dilanggar yakni kejujuran dan antikekerasan. Jika nilai luhur dilanggar ada sanksi keras yang mengancamnya. Hal yang sama juga terjadi pada Pancasila. Jika Pancasila diakui sebagai karakter bangsa seharusnya bangsa Indonesia tidak dapat memanipulasi atau membohongi Pancasila dengan hanya menunjukkan kesemuan. "Pada saat ini, yang kita lihat adalah semu. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang jujur dan tulus. Namun sekarang ini kita adalah bangsa yang semu." tegas Gus Solah. 

Menanggapi pernyataan pendidikan karakter itu, Muji Sutrisno SJ menjelaskan bahwa China lebih gamblang menjelaskan karakter dengan perumpamaannya.  Peribahasa China mengatakan berhati-hatilah dengan pikiranmu, karena pikiran akan mengeluarkan kata-kata dan kata-kata akan menentukan perilaku. Sehingga karakter itu merupakan proses panjang yang senantiasa harus dipelihara dan dilatih terus. "Jika Pancasila adalah karakter bangsa, tidak mungkin dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan seperti kursus Bahasa Inggris. Untuk dihayati sebagai nilai luhur yang terimplementasikan. Pancasila harus ditanamkan dalam-dalam sejak dini," ujar budayawan ini.

Pancasila adalah hasil dari renungan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pluralisme yang ada dalam nilai Pancasila sebenarnya banyak terdapat pada gurindam atau bahasa keseharian masyarakat dulu. Seperti, Lain Lubuk Lain Ikannya - atau Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, merupakan contoh nilai yang hidup dalam masyarakat yang seharusnya diingat terus. "Oleh karena itu, persoalan yang sekarang ada di Indonesia adalah teks vs konteks atau apa yang tertulis dan apa yang dikerjakan," jelas Muji Sutrisno SJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar