![]() |
citijournal/istimewa |
SURABAYA - Penutupan lokalisasi Dolly
dan Jarak yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, rupanya mendapatkan
energy baru berupa dukungan dari beberapa anak yang tinggal di kedua lokalisasi tersebut. Hal ini
terungkap dari hasil penelitian survey yang dilakukan oleh IDIAL MUI Jatim yang
dilakukan selama bulan Desember 2013 sampai dengan Januari 2013.
Dalam penelitian tersebut dilakukan
survey terhadap 50 responden yang terdiri dari 10 WTS, 10 Mucikari, 5
Pramujasa, 5 Pedagang UKM , 10 Rumah Tangga Biasa dan 10 anak – anak.
Ketua Hotline Pendidikan Jatim, Isa
Ansori mengatakan sejatinya mereka tidak menolak penutupan kecuali bila
pemerintah bisa memberi kepastian tentang apa yang bisa mereka lakukan bila
dilakukan penutupan serta bantuan fasilitasi untuk berusaha. Sedang mereka yang
setuju penutupan adalah mereka yang rata – rata menjadi ‘korban’ dari bisnis
prostitusi tersebut.
“ Ini karena memang mereka tidak
mendapatkan manfaat sedikitpun dari aktifitas prostitusi di kedua lokalisasi
tersebut. Terutama anak-anak, yang tinggal dilokalisasi tersebut menyatakan 100
% setuju Dolly dan Jarak ditutup secepat mungkin,” ujarnya kepada Koran Madura,
Senin (10/3).
Menurut Isa Ansori, anak – anak itu
berpendapat setuju, karena memang dilokalisasi tersebut mereka merasa terganggu
terhadap aktifitas prostitusi. Adapaun hal–hal yang dirasa mengganggu adalah,
seringnya mereka melihat para WTS yang berpakaian seronok, melakukan adegan
ciuman dan mabuk ditempat terbuka, suara dentuman musik yang sangat keras pada
jam–jam disaat anak–anak belajar, pertengkaran. Bahkan, kata – kata seronok yang sering mereka
dengarkan.
“Mereka akan tumbuh dewasa sebelum
waktunya karena mereka bisa tahu hal – hal yang dilakukan oleh orang dewasa.
Apa yang mereka lihat dan alami tersebut berpengaruh buruk terhadap perilaku
dan cara bergaulnya, sehingga mereka sering menjumpai teman seusianya melakukan
hal – hal yang sejatinya tidak boleh dilakukan oleh anak – anak,” paparnya.
Apa yang menjadi suara anak – anak di
daerah lokalisasi tersebut, lanjut Isa, sudah seharusnya pemerintah segera
melakukan penutupan. “Bagi mereka yang menolak diharapkan pemerintah bisa
memberi pengertian dan pemahaman bahwa penutupan lokalisasi bukanlah kiamat,
tetapi sebetulnya berkah bagi penyelamatan martabat kemanusiaan mereka,”
imbuhnya.
Dalam penelitian yang bersifat
kualitatif tersebut semua responden diwawancarai dengan panduan pertanyaan yang
dilakukan oleh Tim IDIAL Jatim. Pertanyaan yang disebarkan berkaitan dengan
kepercayaan diri dan motovasi berkarya mereka semua setelah dilakukan penutupan
lokalisasi.
![]() |
sumber: IDIAL Jatim |
Untuk responden yang tidak setuju
penutupan rata – rata didominasi oleh mereka yang tergantung secara langsung
terhadap aktifitas prostitusi serta mereka masih belum mendapatkan jaminan
kepastian kehidupan mereka setelah penutupan lokalisasi, seperti WTS sebesar 65
%, Mucikari 100 %, Rumah Tangga 40 % , Pedagang 50 %, Parumajasa 80 %. (G.
Armadianto Semeru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar