Jumat, 14 Maret 2014

Surabaya Belum Terbabas Banjir

Pengendara sepeda motor menuntun kendaraannya
akibat banjir di kawasan Nginden, Surabaya (13/3).
SURABAYA – Sebuah kota dinilai layak huni salah satunya dengan keberhasilan tata kotanya. Sebagai salah satu kota terbesar dengan penduduk terpadat di Indonesia, Surabaya selayaknya memiliki sarana publik yang memadai. Namun begitu, Surabaya adalah kota dengan potensi banjir yang besar di saat musim penghujan.

Secara topografis, Surabaya berada dalam dataran rendah di atas ketinggian 3 - 6 meter dpl. Surabaya juga merupakan daerah aliran sungai baik dari dalam maupun luar kota. Tanah kota pahlawan ini pun kebanyakan terdiri dari tanah liat sehingga tidak mudah menyerap air.

Sehingga dapat dipastikan, jika musim penghujan datang, hujan akan menyebabkan banjir dan mengakibatkan beberapa ruas jalan raya yang berada di kawasan Surabaya macet total. Genangan banjir dapat menggangu kelancaran roda perekonomian, kesehatan, dan kenyamanan masyarakat.

Hujan deras yang menguyur kota Surabaya, sejak Kamis (13/2) siang, mengakibatkan sejumlah wilayah terendam banjir. Salah satunya, di beberapa ruas jalan dan perkampungan di Rungkut dan Jalan Nginden Intan.

Bersasarkan pantauan Koran Madura, kawasan ini digenangi air setinggi 50 cm. Banjir mulai terlihat sejak satu jam setelah hujan turun hingga kini belum surut. Lalu lintas disekitar lokasi juga macet. Banyak kendaraan yang memperlambat lajunya.

Selain di dua lokasi tersebut, hujan deras disertai angin kencang ini bahkan merobohkan pohon di Jalan Adityawarman dan Jalan Darmo. Namun, pohon yang tumbang tersebut tidak mengenai badan jalan, sehingga tidak menganggu lalu lintas.

Beberapa warga juga mengeluh atas genangan air tersebut. Hampir seluruh wilayah Surabaya, seperti di Simo dan Petemon, bagian Surabaya Barat juga tergenang air. Begitupula di Jalan Mayjen Sungkono, Darmo Satelit, Lontar, Medokan Ayu, Gunung sari, Margorejo, Opak, Ciliwung, Hayam Wuruk, Bratang, Balongsari, Jemursari, Tanjungsari.

Apa penyebab utama dari banjir tahunan ini? Salah satu penyebab utama tersebut adalah buruknya sarana saluran drainase. Mengapa? karena air tidak cepat terserap sehingga tergenang terlalu lama. Keadaan ini diperparah dengan perubahan tata guna lahan di  daerah aliran air.

Dinas Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyatakan terjadi perubahan tata guna lahan untuk pemukiman dan kebutuhan komersil lainnya sehingga tidak ada lagi daerah yang kosong yang dapat digunakan untuk Sanitary Landfill. 

Meski kemampuan sistem drainase di seluruh rayon/sistem drainase di Kota Surabaya bekerja optimal namun banjir di tiap-tiap rayon juga tak terelakkan. Antara lain Rayon Genteng, Rayon Gubeng, Rayon Jambangan, Rayon Wiyung dan Rayon Tandes.

Penyebab lainnya adalah penyempitan saluran drainase akibat pembuangan sampah di saluran air seperti sungai. Sistem drainase akan mengalami kebutuan akibat sampah yang tertimbun di saluran air

"Jika ada genangan air yang surutnya lama, berarti saluran airnya bermasalah," ujar salah satu Camat Surabaya yang minta tidak disebutkan namanya

Bidang Humas Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyatakan bahwa pihaknya telah berupaya menanggulangi banjir. Lewat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pematusan, Surabaya bergerak menuju kota yang bebas banjir. Yakni, memperbanyak alat berat yang digunakan untuk mengeruk lumpur atau sampah yang terendap. Hingga penjadwalan rutin untuk pembersihan saluran-saluran drainase.

Pemkot juga memfasilitasi pembangunan Box Culvert atau biasa disebut saluran gorong-gorong Gorong-gorong ini dibangun di bawah jalan raya, dan memiliki daya tampung hingga 6 m ke dalam tanah. Sehingga air hujan akan ditampung dan tidak meluber ke jalan raya.

Kendati pembangunan drainase di beberapa ruas sudah selesai 90 persen, namun masih ditemukan genangan air. Seperti di Jalan Sri Ikana, Jalan Dharmawangsa di Kecamatan Gubeng yang merupakan langganan banjir.

“Pembangunan gorong-gorong ini oleh Pemkot Surabaya,” ujar Amanu, salah seorang pekerja proyek saluran gorong-gorong di Kecamatan Gubeng.


Akhirnya, kita semua berharap bahwa Surabaya bebas banjir bukan hanya sekedar wacana. (G. Armadianto Semeru)

Rabu, 12 Maret 2014

Caleg Condong Pendangkalan Politik

SURABAYA – April 2014 sudah diambang mata, pesta demokrasi akan segera dimulai. Namanya juga pesta, pasti ada persiapan seperti kue, tempat duduk dan sebagainya. Karena ini pesta demokrasi kuenya adalah para calon legislatif (caleg) itu.

Di sebagian besar jalan sudah terpampang gambar kue warna warni seakan bicara “nanti di bulan april cicipi aku ya!” baik caleg DPR RI maupun DPR di daerah-daerah. Banyak calon yang memang sudah terlebih dahulu kita kenal, ada yang baru kita kenal menjelang pemilu dan ada pula yang mau berkenalan dengan kita. 

Sistem demokrasi terbuka yang diterapkan di negera ini secara tidak langsung juga mengharuskan para politisi berkampanye secara terbuka pula. Hampir tidak ada batasan lagi antara masyarakat yang memilih dan yang akan dipilih. Dimana saja, dan apa saja menjadi media untuk tebar pesona. Caleg tidak lagi adu kreatif untuk menyampaikan visi misi mereka.

“Para calon legislatif dengan syahwat politik membara, berlomba-lomba tebar pesona di kampung-kampung dengan cara menggelontorkan uang dan atau materi untuk mempengaruhi afiliasi poltik rakyat,” ungkap Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Wahyudi Binaryo kepada Citijournal.

Menurut Wahyudi, kampanye sejatinya menjadi ajang bagi caleg untuk memaparkan visi dan misinya. Semakin realitas misinya, semakin berkualitas pula keseriusan caleg tersebut. Namun itu sangat kecil sekali tidak terlihat. Sebaliknya, kampanye justru menjadi ajang tebar pesona agar terlihat kesan serius dengan harapan bisa dipilih saat pemilu nanti.

“Uang dan materi (barang) merupakan faktor yang determinan dalam proses pembuatan keputusan pilihan. Rakyat tidak lagi peduli dengan visi misi caleg atau partai. Semua yang diberikan diterima, dan yang dipilih adalah yang memberi paling banyak,” jelasnya.

Iklim politik saat ini, lanjut Wahyudi, tidak bisa dipungkuri kondisi seperti itu diperparah dengan pendekatan yang dilakukan oleh para caleg termasuk dengan partai politik (parpol). Karena itu, serangan fajar pun tidak dapat dihindari dari kondisi politik seperti ini dan berdampak pada pembodohan politik bagi rakyat. Apakah rakyat mau ditipu-tipu terus oleh orang yang sama?

“Ya, ini fenomena banalitas politik, atau pendangkalan politik. Atau dapat juga disebut political decay (pembusukan politik). Bahkan, beberapa cara caleg yang menyesatkan, memberi minuman keras dan mabuk bersama ke cafĂ© dan diskotik, njoget-joget dengan wanita cantik dll. Ini transaksi politik yang saling menipu,” tegasnya.

Mereka yang dengan cara tebar pesona, lanjut Wahyudi, mungkin dianggap biasa  karena masih bisa dimaklum untuk menarik konstituen secara wajar. Persoalan sekarang, banyak isu bertebaran untuk menjatuhkan popularitas seorang caleg beda partai politik (parpol). “Itu pasti ada, side effect, asal tidak black campaign,” ujarnya.

Wahyudi Binaryo mengakui, fenomena antar caleg beda parpol sudah mulai ada gejala tidak beres dalam memberi pemahaman politik. Caranya, kata Wahyudi, menghembuskan kabar tak enak mencari-cari kelemahan yang maksudnya agar konstituen tidak simpati pada caleg bahkan tidak simpati pada pentolan partainya.

“Mohon diakhirlah cara-cara yang tidak santun. Masyarakat sudah bosan dijejali kabar-kabar burung,” pintanya.

Nah, lantas sebagai pemilih apa yang harus kita lakukan? Begitu banyak anjuran yang dapat kita lakukan sebagai pemilih. Ada yang menganjurkan 'Ambil uangnya, jangan pilih orangnya', ada juga yang berprinsip, 'yang penting siapa yang memberi paling banyak itu yang dipilih, toh nanti kalau sudah terpilih siapa yang bisa menjamin mereka akan ingat kepada pemilihnya? 

“Pilih caleg yang track record (rekam jejak) bagus, moralitas bagus, memiliki visi misi bagus, berani membuat kontrak sosial untuk tidak korupsi dan siap memperjuangkan nasib rakyat,” urainya.

Namun, ada juga masyarakat yang sudah dewasa dalam berdemokrasi. Mereka ini sudah berpandangan modern dan tidak terpengaruh dengan kekuatan uang. Tipe masyarakat seperti itu, sangat menyulitkan parpol dan politisi meraih dukungan. Dengan begitu, harus memiliki strategi cukup jitu untuk meraih dukungan pemilih di satu wilayah.

“Penyelenggaraan forum untuk pendidikan politik bagi voters (pemilih) dengan mengusung pendekatan integratif partisipatif. Narasumbernya, bisa parpol, kampus, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” imbuhnya.

Apakah pada akhirnya rakyat yang harus “dipaksa cerdas” untuk menentukan sikap dalam memilih para caleg. “Ya seharusnya begitu. Pada akhirnya semua harus menyadiri bahwa ideology itu penting,” ujarnya.  

Wahyudi mengungkapkan, sayang sedikit sekali parpol yang menyiapkan calegnya yang punya selling value, sekaligus mampu meraup vote getter,  seiring dengan dikejarnya tenggat waktu sesuai tahapan pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Betul, makanya banyak parpol cari jalan pintas. Cari caleg public figur untuk vote getter. Dengan begitu mereka (parpol,red) akan mudah menggugah emosional calon pemilih,”ungkapnya.

Memang impian menjadi legislator atau wakil rakyat di parlemen harus dilalui dengan berbagai perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan suara masyarakat pun harus dilalui dengan upaya berjuang merebut hati masyarakat. Tapi apakah untuk merebut hati masyarakat harus dilakukan dengan cara-cara yang sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri? (Ari Armadianto)

Senin, 10 Maret 2014

Anak-anak Minta Dolly dan Jarak Ditutup Segera

citijournal/istimewa
SURABAYA - Penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, rupanya mendapatkan energy baru berupa dukungan dari beberapa anak yang  tinggal di kedua lokalisasi tersebut. Hal ini terungkap dari hasil penelitian survey yang dilakukan oleh IDIAL MUI Jatim yang dilakukan selama bulan Desember 2013 sampai dengan Januari 2013.

Dalam penelitian tersebut dilakukan survey terhadap 50 responden yang terdiri dari 10 WTS, 10 Mucikari, 5 Pramujasa, 5 Pedagang UKM , 10 Rumah Tangga Biasa dan 10 anak – anak.

Ketua Hotline Pendidikan Jatim, Isa Ansori mengatakan sejatinya mereka tidak menolak penutupan kecuali bila pemerintah bisa memberi kepastian tentang apa yang bisa mereka lakukan bila dilakukan penutupan serta bantuan fasilitasi untuk berusaha. Sedang mereka yang setuju penutupan adalah mereka yang rata – rata menjadi ‘korban’ dari bisnis prostitusi tersebut.

“ Ini karena memang mereka tidak mendapatkan manfaat sedikitpun dari aktifitas prostitusi di kedua lokalisasi tersebut. Terutama anak-anak, yang tinggal dilokalisasi tersebut menyatakan 100 % setuju Dolly dan Jarak ditutup secepat mungkin,” ujarnya kepada Koran Madura, Senin (10/3).

Menurut Isa Ansori, anak – anak itu berpendapat setuju, karena memang dilokalisasi tersebut mereka merasa terganggu terhadap aktifitas prostitusi. Adapaun hal–hal yang dirasa mengganggu adalah, seringnya mereka melihat para WTS yang berpakaian seronok, melakukan adegan ciuman dan mabuk ditempat terbuka, suara dentuman musik yang sangat keras pada jam–jam disaat anak–anak belajar, pertengkaran. Bahkan,  kata – kata seronok yang sering mereka dengarkan.

“Mereka akan tumbuh dewasa sebelum waktunya karena mereka bisa tahu hal – hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Apa yang mereka lihat dan alami tersebut berpengaruh buruk terhadap perilaku dan cara bergaulnya, sehingga mereka sering menjumpai teman seusianya melakukan hal – hal yang sejatinya tidak boleh dilakukan oleh anak – anak,” paparnya.

Apa yang menjadi suara anak – anak di daerah lokalisasi tersebut, lanjut Isa, sudah seharusnya pemerintah segera melakukan penutupan. “Bagi mereka yang menolak diharapkan pemerintah bisa memberi pengertian dan pemahaman bahwa penutupan lokalisasi bukanlah kiamat, tetapi sebetulnya berkah bagi penyelamatan martabat kemanusiaan mereka,” imbuhnya.

Dalam penelitian yang bersifat kualitatif tersebut semua responden diwawancarai dengan panduan pertanyaan yang dilakukan oleh Tim IDIAL Jatim. Pertanyaan yang disebarkan berkaitan dengan kepercayaan diri dan motovasi berkarya mereka semua setelah dilakukan penutupan lokalisasi.
sumber: IDIAL Jatim


Untuk responden yang tidak setuju penutupan rata – rata didominasi oleh mereka yang tergantung secara langsung terhadap aktifitas prostitusi serta mereka masih belum mendapatkan jaminan kepastian kehidupan mereka setelah penutupan lokalisasi, seperti WTS sebesar 65 %, Mucikari 100 %, Rumah Tangga 40 % , Pedagang 50 %, Parumajasa 80 %. (G. Armadianto Semeru)