Caleg Condong Pendangkalan Politik
SURABAYA – April 2014 sudah diambang mata, pesta
demokrasi akan segera dimulai. Namanya juga pesta, pasti ada persiapan seperti
kue, tempat duduk dan sebagainya. Karena ini pesta demokrasi kuenya adalah para calon legislatif
(caleg) itu.
Di sebagian besar jalan sudah terpampang gambar kue
warna warni seakan bicara “nanti di bulan april cicipi aku ya!” baik caleg DPR
RI maupun DPR di daerah-daerah. Banyak calon yang memang sudah terlebih dahulu
kita kenal, ada yang baru kita kenal menjelang pemilu dan ada pula yang mau
berkenalan dengan kita.
Sistem demokrasi terbuka yang diterapkan di negera
ini secara tidak langsung juga mengharuskan para politisi berkampanye secara
terbuka pula. Hampir tidak ada batasan lagi antara masyarakat yang memilih dan
yang akan dipilih. Dimana saja, dan apa saja menjadi media untuk tebar pesona.
Caleg tidak lagi adu kreatif untuk menyampaikan visi misi mereka.
“Para calon legislatif dengan syahwat politik
membara, berlomba-lomba tebar pesona di kampung-kampung dengan cara
menggelontorkan uang dan atau materi untuk mempengaruhi afiliasi poltik
rakyat,” ungkap Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Wahyudi
Binaryo kepada Citijournal.
Menurut Wahyudi, kampanye sejatinya menjadi ajang
bagi caleg untuk memaparkan visi dan misinya. Semakin realitas misinya, semakin
berkualitas pula keseriusan caleg tersebut. Namun itu sangat kecil sekali tidak
terlihat. Sebaliknya, kampanye justru menjadi ajang tebar pesona agar terlihat
kesan serius dengan harapan bisa dipilih saat pemilu nanti.
“Uang dan materi (barang) merupakan faktor yang
determinan dalam proses pembuatan keputusan pilihan. Rakyat tidak lagi peduli
dengan visi misi caleg atau partai. Semua yang diberikan diterima, dan yang
dipilih adalah yang memberi paling banyak,” jelasnya.
Iklim politik saat ini, lanjut Wahyudi, tidak bisa
dipungkuri kondisi seperti itu diperparah dengan pendekatan yang dilakukan oleh
para caleg termasuk dengan partai politik (parpol). Karena itu, serangan fajar
pun tidak dapat dihindari dari kondisi politik seperti ini dan berdampak pada
pembodohan politik bagi rakyat. Apakah rakyat mau ditipu-tipu terus oleh orang
yang sama?
“Ya, ini fenomena banalitas politik, atau
pendangkalan politik. Atau dapat juga disebut political decay (pembusukan
politik). Bahkan, beberapa cara caleg yang menyesatkan, memberi minuman keras
dan mabuk bersama ke café dan diskotik, njoget-joget dengan wanita cantik dll.
Ini transaksi politik yang saling menipu,” tegasnya.
Mereka yang dengan cara tebar pesona, lanjut
Wahyudi, mungkin dianggap biasa karena
masih bisa dimaklum untuk menarik konstituen secara wajar. Persoalan sekarang,
banyak isu bertebaran untuk menjatuhkan popularitas seorang caleg beda partai
politik (parpol). “Itu pasti ada, side effect, asal tidak black
campaign,” ujarnya.
Wahyudi Binaryo mengakui, fenomena antar caleg beda
parpol sudah mulai ada gejala tidak beres dalam memberi pemahaman politik.
Caranya, kata Wahyudi, menghembuskan kabar tak enak mencari-cari kelemahan yang
maksudnya agar konstituen tidak simpati pada caleg bahkan tidak simpati pada
pentolan partainya.
“Mohon diakhirlah cara-cara yang tidak santun.
Masyarakat sudah bosan dijejali kabar-kabar burung,” pintanya.
Nah, lantas sebagai pemilih apa yang harus kita
lakukan? Begitu banyak anjuran yang dapat kita lakukan sebagai pemilih. Ada
yang menganjurkan 'Ambil uangnya, jangan pilih orangnya', ada juga yang
berprinsip, 'yang penting siapa yang memberi paling banyak itu yang dipilih, toh
nanti kalau sudah terpilih siapa yang bisa menjamin mereka akan ingat kepada
pemilihnya?
“Pilih caleg yang track record (rekam jejak) bagus,
moralitas bagus, memiliki visi misi bagus, berani membuat kontrak sosial untuk
tidak korupsi dan siap memperjuangkan nasib rakyat,” urainya.
Namun, ada juga masyarakat yang
sudah dewasa dalam berdemokrasi. Mereka ini sudah berpandangan modern dan tidak
terpengaruh dengan kekuatan uang. Tipe masyarakat seperti itu, sangat
menyulitkan parpol dan politisi meraih dukungan. Dengan begitu, harus memiliki
strategi cukup jitu untuk meraih dukungan pemilih di satu wilayah.
“Penyelenggaraan forum untuk pendidikan politik bagi
voters (pemilih) dengan mengusung pendekatan integratif partisipatif.
Narasumbernya, bisa parpol, kampus, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),”
imbuhnya.
Apakah pada akhirnya rakyat yang harus “dipaksa
cerdas” untuk menentukan sikap dalam memilih para caleg. “Ya seharusnya begitu.
Pada akhirnya semua harus menyadiri bahwa ideology itu penting,” ujarnya.
Wahyudi mengungkapkan, sayang sedikit sekali parpol
yang menyiapkan calegnya yang punya selling value, sekaligus mampu meraup vote
getter, seiring dengan dikejarnya
tenggat waktu sesuai tahapan pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Betul, makanya banyak parpol cari jalan pintas.
Cari caleg public figur untuk vote getter. Dengan begitu mereka (parpol,red) akan mudah menggugah
emosional calon pemilih,”ungkapnya.
Memang impian menjadi legislator atau wakil rakyat
di parlemen harus dilalui dengan berbagai perjuangan. Perjuangan untuk
memperjuangkan suara masyarakat pun harus dilalui dengan upaya berjuang merebut
hati masyarakat. Tapi apakah untuk merebut hati masyarakat harus dilakukan
dengan cara-cara yang sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri? (Ari Armadianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar