Rabu, 12 Maret 2014

Caleg Condong Pendangkalan Politik

SURABAYA – April 2014 sudah diambang mata, pesta demokrasi akan segera dimulai. Namanya juga pesta, pasti ada persiapan seperti kue, tempat duduk dan sebagainya. Karena ini pesta demokrasi kuenya adalah para calon legislatif (caleg) itu.

Di sebagian besar jalan sudah terpampang gambar kue warna warni seakan bicara “nanti di bulan april cicipi aku ya!” baik caleg DPR RI maupun DPR di daerah-daerah. Banyak calon yang memang sudah terlebih dahulu kita kenal, ada yang baru kita kenal menjelang pemilu dan ada pula yang mau berkenalan dengan kita. 

Sistem demokrasi terbuka yang diterapkan di negera ini secara tidak langsung juga mengharuskan para politisi berkampanye secara terbuka pula. Hampir tidak ada batasan lagi antara masyarakat yang memilih dan yang akan dipilih. Dimana saja, dan apa saja menjadi media untuk tebar pesona. Caleg tidak lagi adu kreatif untuk menyampaikan visi misi mereka.

“Para calon legislatif dengan syahwat politik membara, berlomba-lomba tebar pesona di kampung-kampung dengan cara menggelontorkan uang dan atau materi untuk mempengaruhi afiliasi poltik rakyat,” ungkap Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Wahyudi Binaryo kepada Citijournal.

Menurut Wahyudi, kampanye sejatinya menjadi ajang bagi caleg untuk memaparkan visi dan misinya. Semakin realitas misinya, semakin berkualitas pula keseriusan caleg tersebut. Namun itu sangat kecil sekali tidak terlihat. Sebaliknya, kampanye justru menjadi ajang tebar pesona agar terlihat kesan serius dengan harapan bisa dipilih saat pemilu nanti.

“Uang dan materi (barang) merupakan faktor yang determinan dalam proses pembuatan keputusan pilihan. Rakyat tidak lagi peduli dengan visi misi caleg atau partai. Semua yang diberikan diterima, dan yang dipilih adalah yang memberi paling banyak,” jelasnya.

Iklim politik saat ini, lanjut Wahyudi, tidak bisa dipungkuri kondisi seperti itu diperparah dengan pendekatan yang dilakukan oleh para caleg termasuk dengan partai politik (parpol). Karena itu, serangan fajar pun tidak dapat dihindari dari kondisi politik seperti ini dan berdampak pada pembodohan politik bagi rakyat. Apakah rakyat mau ditipu-tipu terus oleh orang yang sama?

“Ya, ini fenomena banalitas politik, atau pendangkalan politik. Atau dapat juga disebut political decay (pembusukan politik). Bahkan, beberapa cara caleg yang menyesatkan, memberi minuman keras dan mabuk bersama ke café dan diskotik, njoget-joget dengan wanita cantik dll. Ini transaksi politik yang saling menipu,” tegasnya.

Mereka yang dengan cara tebar pesona, lanjut Wahyudi, mungkin dianggap biasa  karena masih bisa dimaklum untuk menarik konstituen secara wajar. Persoalan sekarang, banyak isu bertebaran untuk menjatuhkan popularitas seorang caleg beda partai politik (parpol). “Itu pasti ada, side effect, asal tidak black campaign,” ujarnya.

Wahyudi Binaryo mengakui, fenomena antar caleg beda parpol sudah mulai ada gejala tidak beres dalam memberi pemahaman politik. Caranya, kata Wahyudi, menghembuskan kabar tak enak mencari-cari kelemahan yang maksudnya agar konstituen tidak simpati pada caleg bahkan tidak simpati pada pentolan partainya.

“Mohon diakhirlah cara-cara yang tidak santun. Masyarakat sudah bosan dijejali kabar-kabar burung,” pintanya.

Nah, lantas sebagai pemilih apa yang harus kita lakukan? Begitu banyak anjuran yang dapat kita lakukan sebagai pemilih. Ada yang menganjurkan 'Ambil uangnya, jangan pilih orangnya', ada juga yang berprinsip, 'yang penting siapa yang memberi paling banyak itu yang dipilih, toh nanti kalau sudah terpilih siapa yang bisa menjamin mereka akan ingat kepada pemilihnya? 

“Pilih caleg yang track record (rekam jejak) bagus, moralitas bagus, memiliki visi misi bagus, berani membuat kontrak sosial untuk tidak korupsi dan siap memperjuangkan nasib rakyat,” urainya.

Namun, ada juga masyarakat yang sudah dewasa dalam berdemokrasi. Mereka ini sudah berpandangan modern dan tidak terpengaruh dengan kekuatan uang. Tipe masyarakat seperti itu, sangat menyulitkan parpol dan politisi meraih dukungan. Dengan begitu, harus memiliki strategi cukup jitu untuk meraih dukungan pemilih di satu wilayah.

“Penyelenggaraan forum untuk pendidikan politik bagi voters (pemilih) dengan mengusung pendekatan integratif partisipatif. Narasumbernya, bisa parpol, kampus, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” imbuhnya.

Apakah pada akhirnya rakyat yang harus “dipaksa cerdas” untuk menentukan sikap dalam memilih para caleg. “Ya seharusnya begitu. Pada akhirnya semua harus menyadiri bahwa ideology itu penting,” ujarnya.  

Wahyudi mengungkapkan, sayang sedikit sekali parpol yang menyiapkan calegnya yang punya selling value, sekaligus mampu meraup vote getter,  seiring dengan dikejarnya tenggat waktu sesuai tahapan pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Betul, makanya banyak parpol cari jalan pintas. Cari caleg public figur untuk vote getter. Dengan begitu mereka (parpol,red) akan mudah menggugah emosional calon pemilih,”ungkapnya.

Memang impian menjadi legislator atau wakil rakyat di parlemen harus dilalui dengan berbagai perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan suara masyarakat pun harus dilalui dengan upaya berjuang merebut hati masyarakat. Tapi apakah untuk merebut hati masyarakat harus dilakukan dengan cara-cara yang sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri? (Ari Armadianto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar